5.5.07

fajar -6

Mungkin tak bisa aku mendatangi Ibu, karena jauhnya jarak. Ya jarak geografis, ya jarak kosmologis kasih sayang dan cinta. Bukankah dari gejala ini lahir peribahasa kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah ? Maaf kalo susunan peribahasanya kurang tepat jar, sebab memang kata-kata dan istilah sering silang sengkarut dalam prosesor di otakku, seperti saat aku ingin bicara dengan bule, ternyata “kamus” di otakku tidak bisa kompak dengan lidah ... maka meluncurlah kata-kata serampangan dan lebih bernada sok tahu.

Tapi di “kejauhan” dengan Ibu itulah jar, aku bisa berteriak dengan bahasa senyap yang tak membutuhkan kata-kata, huruf-huruf, alfabet-alfabet.

Ternyata di “kejauhan” dengan Ibu seperti saat-saat inilah jar, bahasaku benar-benar telanjang dan jujur.

Lecutlah aku lagi, Ibu. Bentaklah kebengalan anakmu ini, Ibu. Hardiklah kepongahan anakmu ini, Ibu.
Lecutlah aku lagi, Ibu. Bentaklah kebengalan anakmu ini, Ibu. Hardiklah kepongahan anakmu ini, Ibu.
Lecutlah aku lagi, Ibu. Bentaklah kebengalan anakmu ini, Ibu. Hardiklah kepongahan anakmu ini, Ibu.

Rasa rindu ini mengundang lecutan, bentakan, hardikan, atau tamparan itu, Ibu. Rasa jauh ini mendekatkanku untuk bersimpuh mencium lututmu.

Sampaikanlah jar, karena bahasaku ini senyap.

Tidak ada komentar: