5.5.07

fajar -5

Alangkah menyenangkan jar, membicarakan manusia semacam ini.

Sekaligus misterius, juga membingungkan ... alangkah menggairahkan kita menyelami rahasia semacam ini. Seolah-olah dalam sebuah ciptaan bernama manusia ini, Tuhan menitipkan sebuah pertanyaan, yang mungkin juga pertanyaan itu adalah jawabannya. Inna ma’al ‘usri yusran. Bahwa setiap masalah datangnya satu paket dengan jalan keluarnya. Pertanyaan -yang terserah kita juga sih, bersedia menjawabnya, atau hanya sekedar mempergilirkan pertanyaan ini dari masa ke masa. Seperti para koruptor yang bergiliran menghabiskan uang kita dan uang negara itu kan jar.

Usia kita adalah tiket antrian untuk menyetor jawaban ini. Tidak di hadapan siapa-siapa atau untuk siapa-siapa. Kita hidangkan berbagai menu jawaban ini di hadapan jiwa kita. Untuk berbagai alasan. Mungkin karena kehausan, kelaparan, keinginan, kebutuhan, atau –rodo ndakik- tujuan filosofis kita.

Waduh, makin bingung saja aku ... Dan kalau aku sudah kebingungan semacam ini, biasanya Ibu datang dengan sebatang lidi, melecutkannya di kebingunganku, dengan ruh cinta dan kasih, membangunkan aku, mengembalikan aku pada kesadaran. Pada rasa sakit yang manusiawi. Dan bukankah rasa sakit –seperti lecutan batang lidi Ibu itu- itulah yang mungkin kita butuhkan saat ini untuk kembali menyadari manusia dan nilai kemanusiaan itu, jar ? Tentunya lecutan yang juga dialiri ruh cinta dan kasih, bukan dendam dan iri hati.

Lek ngono, mungkin harus aku datang berlutut di hadapan Ibu, memintanya melecutku lagi seperti masa kecil kita dulu. Bukan untuk apa-apa jar, semata-mata hanya ingin kembali merasakan cinta itu. Yang bukan karena apa-apa. Juga tidak untuk apa-apa.

Tidak ada komentar: