11.3.12

tungku

Butir-butir air dari langit masih menuntaskan perjalanannya menyentuhkan keningnya di hamparan bumi yang darinya ia belajar untuk merentangkan tangan lebar-lebar pada kenyataan. Ia yang selalu saja datang menelusup di sela-sela butiran air itu, tak pernah sekalipun kuketahui kapan datangnya. Tahu-tahu saja butir air itu yang menjawab salamnya pertama kali.


"Hidup itu adalah sebuah tungku," ujarnya menjawab salam. "Sebuah tungku dimana nilai dan norma diaduk menjadi satu. Dimana hitam-putih, benar-salah, susah-senang, keceriaan-kesenduan, semuanya mendidih"


"Dan aku ??", sambutku tetap menembus tirai hujan.


"Engkau dan aku", ujarnya. "Tak juga kutahu dimana seharusnya kita berada"


Dan lambaian senyumnya adalah hal terakhir yang ditinggalkannya. Sebutir air bening yang jatuh perlahan, merekam semuanya dalam bulirnya, kemudian menyebut "jalani saja, tetapi jangan lupa menyiapkan mangkuk untuk hidangan dari tungku, ketika ia matang nanti"


Published with Blogger-droid v2.0.4

28.2.12

Dagelan

Salah satu sebab dagelan bencana alam maupun bencana non alam yang selama ini kita alami, mungkin adalah karena yang kita pentaskan sehari-hari adalah dagelan-dagelan yang begitu pekok-nya

bau tanah sehabis hujan

bau basah tanah yang disapa hujan, adalah aroma kerinduan abadi seorang Muhammad yang jatuh tersungkur di Hadratul Qudsiyah, ketika Kekasihnya, Allah menyuguhkan secawan pertanyaan cinta 

". . . dan milik siapakah Aku ini, ya Muhammad ?"

29.5.07

Hukuman

Mungkin ketidaktahuan akan kesalahan-kesalahanku itulah yang menyebabkan aku pantas menerima hukuman seberat ini

5.5.07

bidadari kecil(ku)

pantaskah kusebut engkau bidadari kecilku ??
saat tak ada yg bisa kulakukan selain menangis ?
layakkah kupanggil engkau gadis kecilku ??
saat tak ada yg mampu kulakukan selain menyematkan deritamu di helaian kuntum doaku ?

diantara puing-puing
lukamu bercerita tentang perang
desing peluru diatas kepalamu terbang
bahkan ada yang di lenganmu ia bersarang

dari sela reruntuhan dan debu
tetes darahmu sampaikan pesan
sejuta mimpi dalam tidurmu berserakan
meski kepada mereka perdamaian kau percayakan

memang aku tak punya keberanian
untuk sekedar menghapus air matamu
benar akulah pengecut itu
yang bersembunyi di balik pembenaran

... berjuta alasan
hanya memperjelas ketidakmampuanku berbuat apa-apa

... tapi izinkanlah ...
aku tetap menyebutmu bidadari kecilku
aku tetap sematkan deritamu dalam helaian kuntum doaku
aku mengunjungimu dengan segenap kelemahanku
dimanapun dan kemanapun engkau terbang dengan sayap mungil itu

ke Kosovo, Nigeria, Ghana, Poso, Bantul, Pangandaran, Aceh, Thailand, Somalia, Palestina bahkan hingga ke Libanon

( 31.07.06 )

fajar -6

Mungkin tak bisa aku mendatangi Ibu, karena jauhnya jarak. Ya jarak geografis, ya jarak kosmologis kasih sayang dan cinta. Bukankah dari gejala ini lahir peribahasa kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah ? Maaf kalo susunan peribahasanya kurang tepat jar, sebab memang kata-kata dan istilah sering silang sengkarut dalam prosesor di otakku, seperti saat aku ingin bicara dengan bule, ternyata “kamus” di otakku tidak bisa kompak dengan lidah ... maka meluncurlah kata-kata serampangan dan lebih bernada sok tahu.

Tapi di “kejauhan” dengan Ibu itulah jar, aku bisa berteriak dengan bahasa senyap yang tak membutuhkan kata-kata, huruf-huruf, alfabet-alfabet.

Ternyata di “kejauhan” dengan Ibu seperti saat-saat inilah jar, bahasaku benar-benar telanjang dan jujur.

Lecutlah aku lagi, Ibu. Bentaklah kebengalan anakmu ini, Ibu. Hardiklah kepongahan anakmu ini, Ibu.
Lecutlah aku lagi, Ibu. Bentaklah kebengalan anakmu ini, Ibu. Hardiklah kepongahan anakmu ini, Ibu.
Lecutlah aku lagi, Ibu. Bentaklah kebengalan anakmu ini, Ibu. Hardiklah kepongahan anakmu ini, Ibu.

Rasa rindu ini mengundang lecutan, bentakan, hardikan, atau tamparan itu, Ibu. Rasa jauh ini mendekatkanku untuk bersimpuh mencium lututmu.

Sampaikanlah jar, karena bahasaku ini senyap.

fajar -5

Alangkah menyenangkan jar, membicarakan manusia semacam ini.

Sekaligus misterius, juga membingungkan ... alangkah menggairahkan kita menyelami rahasia semacam ini. Seolah-olah dalam sebuah ciptaan bernama manusia ini, Tuhan menitipkan sebuah pertanyaan, yang mungkin juga pertanyaan itu adalah jawabannya. Inna ma’al ‘usri yusran. Bahwa setiap masalah datangnya satu paket dengan jalan keluarnya. Pertanyaan -yang terserah kita juga sih, bersedia menjawabnya, atau hanya sekedar mempergilirkan pertanyaan ini dari masa ke masa. Seperti para koruptor yang bergiliran menghabiskan uang kita dan uang negara itu kan jar.

Usia kita adalah tiket antrian untuk menyetor jawaban ini. Tidak di hadapan siapa-siapa atau untuk siapa-siapa. Kita hidangkan berbagai menu jawaban ini di hadapan jiwa kita. Untuk berbagai alasan. Mungkin karena kehausan, kelaparan, keinginan, kebutuhan, atau –rodo ndakik- tujuan filosofis kita.

Waduh, makin bingung saja aku ... Dan kalau aku sudah kebingungan semacam ini, biasanya Ibu datang dengan sebatang lidi, melecutkannya di kebingunganku, dengan ruh cinta dan kasih, membangunkan aku, mengembalikan aku pada kesadaran. Pada rasa sakit yang manusiawi. Dan bukankah rasa sakit –seperti lecutan batang lidi Ibu itu- itulah yang mungkin kita butuhkan saat ini untuk kembali menyadari manusia dan nilai kemanusiaan itu, jar ? Tentunya lecutan yang juga dialiri ruh cinta dan kasih, bukan dendam dan iri hati.

Lek ngono, mungkin harus aku datang berlutut di hadapan Ibu, memintanya melecutku lagi seperti masa kecil kita dulu. Bukan untuk apa-apa jar, semata-mata hanya ingin kembali merasakan cinta itu. Yang bukan karena apa-apa. Juga tidak untuk apa-apa.