5.3.07

fajar -4

Terlalu lama yah jar, aku tak lagi menulis surat ke lapangan tempat kita bermain bola dulu. Ke gundukan pasir yang selalu saja kita rusak sambil tertawa-tawa. Iyah jar, terkadang capek juga melihat kenyataan yang terkadang menghantam semua teori tentang hati dan kebaikan. Kenyataan yang mendudukkan nilai budi pekerti dan moral di kursi terdakwa. Ah ... kalau juga si hakim tak kunjung mengerti masalahnya, bukan lagi ketokan palu yang akan memutuskannya, melainkan irisan dendam dan iri hati yang akan menghukumnya. Kau pasti lah merengut jar ... sekali aku menulisi-mu lagi, isinya kembali meng-gerundel. Lah, yaopo maneh ? Mau bagaimana lagi .... ?

Tuh kan, aku jadi ikut-ikutan orang banyak. Pertanyaan-pertanyaan tipikal “ mau bagaimana lagi ... “ kan sudah amat sering kita dengar (walau sering kita juga yang memperdengarkan). Ini sih sepertinya kita dengan sukarela dan senang menempatkan diri di sebuah sudut. Mungkin juga kita membuat fitrah kemanusiaan kita menjadi paket-paket yang sudah diiklankan di televisi atau media yang lain. Dengan sukarela yang terpaksa, kita memilih menjadi rakyat, menjadi penguasa, menjadi pekerja, menjadi imam, makmum, kepala rumah tangga dan 1001 paket sejarah yang mungkin dulu tak pernah sengaja kita ciptakan. Sebenarnya sih sah-sah saja dan memang tak bisa kita hindari paket-paket semacam ini, namun kupikir jar, alangkah memilukan kalau dengan paket-paket semacam itu, kita melupakan bahwa kita manusia. Bahwa manusia adalah manusia, jauh diatas paket-paket semacam itu.

Mungkin kelelahan kita dan rasa letih membuat kita tak berdaya hanyut dalam putaran arus semacam ini.

Lalu, dimanakah manusianya ... diantara arus puting beliung semacam ini.

Tidak ada komentar: